Minggu, 13 Juni 2010

Digoyang Isu Nuklir dan Santet

Inilah isu di seputar Piala Dunia dari masa ke masa.
Senin, 14 Juni 2010, 10:28 WIB
Wenseslaus Manggut
Adolf Hitler (berkumis) saat berkendara bersama Benito Mussolini (AP Photo)

VIVAnews-PELBAGAI macam kampanye anti politik dan rasisme dilancarkan di lapangan hijau dan Piala Dunia. Tapi, pesta bola sejagat tak pernah steril. Sejarah Piala Dunia kental dengan nuansa politik. Pada 1934, misalnya, Piala Dunia menjadi sangat politis setelah Italia ngotot menjadi tuan rumah. Adalah Bennito Mussolini mendorong Italia mengambil kesempatan itu. Mussolini punya ambisi besar menjadi pemimpin Eropa. Lobi Italia beraroma politis itu menembus benteng FIFA. Otoritas tertinggi sepakbola dunia itu tak bisa berbuat banyak karena memang giliran Eropa menjadi tuan rumah Piala Dunia. Apalagi, Negeri Pizza itu juga memiliki fasilitas, sarana dan prasarana memadai untuk menggelar perhelatan besar bola sejagat itu. “Il Duce” Mussolini, misalnya, mengerahkan segala akal agar Italia menjadi juara dunia. Dia menekan panitia penyelenggara, tapi juga menawarkan “gula-gula”. Salah satunya, tawaran status warganegara Italia kepada sejumlah pemain yang punya hubungan darah, dan keluarga di Italia. Misalnya Luis Monti, dan Raimundo Orsi. Keduanya berasal dari Argentina. Dia memotivasi para pemain Gli Azzurri, dan membakar semangat mereka dengan cara khas fasis. Suatu hari menjelang duel Italia lawan Cekoslovakia, Mussolini menulis pesan kepada kapten Italia. Isinya hanya dua patah kata: “Juara, atau mati!” Gaya Mussolini itu, apa boleh buat, terbukti manjur. Mungkin karena nyawa mereka ditawan di ujung jari sang fasis, para pemain Italia bertarung mati-matian. Italia akhirnya tampil sebagai juara Piala Dunia 1934, dengan mengalahkan Cekoslovakia 2-1 di final. Situasi politik dunia kian panas, saat Piala Dunia 1938 digelar di Prancis. Belum usai bayang-bayang Perang Dunia I, warga Eropa dicekam perang baru meletus lagi. Kecemasan ini bukan isapan jempol belaka. Setahun kemudian, Perang Dunia II meletus dahsyat. Pada Piala Dunia ketiga ini, Adolf Hitler sudah melakukan propaganda politik. Der Fuhrer terinspirasi oleh sukses Mussolini ‘menginvasi’ lapangan hijau, dan menjadikannya ajang pamer kekuatan. Hitler pun menginginkan Jerman menjadi juara dunia. FIFA masih belum bisa mengendalikan situasi. Padahal, publik serta peserta Piala Dunia tentu sangat berharap event ini steril dari politisasi. Sepakbola adalah ‘agama’ tersendiri bagi pengemar fanatiknya. Sayangnya, usaha FIFA kembali membentur tembok. Perang Dunia II akhirnya pecah pada 1939-1945. Padahal, otoritas sepakbola dunia itu sudah menunjuk Jerman sebagai tuan rumah Piala Dunia 1942. Perhelatan itu baru bisa berlangsung empat tahun kemudian, tatkala perang telah usai.